Aku : Pah, besok perginya piye?
Agni : Pakai mobil aja, parkir di PU, terus naik Trans-Jakarta dari depan Al-Azhar
Aku : Asyik, naik Trans-Jakarta sampai Beos… Kumpulnya
Agni : Biar gak buru-buru ya jam
Dirumah
Hari Selasa, 31 Jan 06, libur 1 Muharram. Mata melek dan melirik ke jam dinding, wah udah jam
Rumah – PU
Cuaca diluar kok kelabu. Piye iki. Jalan terus. Ciledug Raya lancar. Sampai di Kebayoran kok masih gelap terus, malah turun gerimis kecil-kecil. Kirim SMS:
Saya : Bagaimana ini kok mendung?
Deedee : Badai pasti berlalu J
[Bener
Sampailah di PU. Parkir. Cari ‘rest room’ di gedung utama lantai dasar. Lega.
PU – BEOS
Maksud hati mau ke halte di depan Al Azhar, tapi sudah muter pelataran PU, ternyata semua pintu masuk PU di gembok…. weleh-weleh…. Akhirnya balik lagi ke depan, nyegat KOPAJA 66 di Jl. Pattimura, turun di
Ini kedua kalinya saya naik Trans-Jakarta. Karena hari masih terhitung pagi dan hari libur, maka penumpangnya pun belum banyak. Kami duduk paling depan deretan kiri. Sopir bus-nya perempuan, pakai jilbab dan cantik. Tustel dikeluarkan, sopir di photo, kemudian yang motret di potret …..
Jalanan Jakarta masih lengang. Suasana yang tidak semrawut ini enak dilihatnya. Membuat hati ini juga senang. Sementara matahari sinarnya mulai muncul sedikit-sedikit dan awan kelabu mulai hilang. Sampai di BEOS sudah jam
BEOS
Aku : Pah, dimana sih pada ngumpulnya, kok gak ada spanduk..
Agni : Itu tuh disitu, orang kumpul-kumpul itu
[Tumben gak ada spanduk – salah tulis yaaaaa………….]
Menuju kerumunan para Batmuser….. Hallo Indie, hallo Wasti, hallo Lytha, hallo Cindy, hallo Ninta, hallo Hanum … hallo ibu Wisda, hallo Adep, hallo Dini, hallo Evi, hallo oma Anna, hallo Bangko ….
Aku : Deedee kok gak ikut kenapa Pak?
Pak Amran: Harus stand-bay di kantor
[Oooooo ….. kacian.]
Kami mendapat bis No. 3. Bis ukuran sedang, berisi 20-an seat. Yang ada di bis ini antara lain adalah pak Amran, Galuh, Cindy, Cindy lagi dan adiknya Benny, sapa lagi ya …. termasuk 2 crew Global-TV.
Reporter: Pak sopir, teman saya mau shoot bis-bis berangkat dari BEOS. Jangan ditinggal ya Pak
Sopir Bb: Baik bu.
Akhirnya …. tarikkkkk …… bis no. 3 pada deretan paling belakang ….
BEOS – STATION TANJUNG PRIOK
Tidak ada yang istimewa di dalam bis. Yang ada hanyalah saya yang terbengong-bengong, karena jarang atau malahan tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang dilewati bis pariwisata ini. Belok kanan, belok kiri, belok kanan lagi, belok kiri lagi [emang belok adanya kanan-kiri], dan tiba-tiba sudah sampai di jalan tol menuju Ancol. Jalan terus, terus - lewat pelabuhan Tanjung Priok dan akhirnya sampai di Station Priok
STATION TANJUNG PRIOK
Suasana di depan Priok Train Staion semrawut, Mungkin, kalau gak salah, karena letaknya berseberangan dengan terminal bis Priok. Turun-turun dan semua digiring dan di ‘critani’ Pak Alwi Shahab tentang sejarah station ini di depan pintu masuk bangunan station, yang pintunya sudah rusak dan tidak bisa dibuka. So, untuk ‘menikmati’ suasana station dari dalam, kami harus menggunakan pintu samping.
Keadaan didalam station tidak jauh dari bayangan saya. Kotor, kumuh, tak terawat. Eman-eman, sayang sekaleeee, padahal bangunannya masih ‘pengkuh’. Kalau dirawat, dibersihkan, pasti cantik, karena ‘saudara-saudara’-nya yang ada di Belanda
STATION PRIOK – MARUNDA
Waktu kunjungan habis. Ayo, ayo, naik lagi ke bis. Perjalanan dilanjut ke rumah si Pitung. Gak tau lewat mana aja, yang saya ingat adalah, lewat sekolah STIP[?], kalau gak salah dulu namanya IIP, yang dulunya di Jl. Gunung Sahari, yang bekas sekolahan IIP lama sudah dibangun WTC Mangga Dua. Di depan sekolah STIP ada papan bertuliskan ‘you are entering English speaking area’. Dari STIP bis belok kanan, lewat jalan yang tak terlalu lebar dan sampailah di sebuah area parkir, dimana sudah ada mobil Metro-TV J, tapi bukan untuk meliput BatMus!
Rumah si Pitung yang sudah kelihatan dari jauh, rumah panggung dari kayu berwarna merah. Melewati jembatan gantung yang sederhana, kemudian melewati jalan kecil yang diapit oleh 2 buah tambak [atawa air pasang?], sampailah di rumah si Pitung. Mungkin, mungkin lho, rumah Pitung ini dulu persis dipinggir pantai. Tapi karena pendangkalan pantai, jadinya seperti di daratan.
Sampai di halaman rumah Pitung, kembali Pak Alwi bercerita. Sementara pak Alwi bercerita, ada yang asyik mendengarkan, ada yang asyik photo-photo. Cerita selesai. Para BatMus kemudian diarahkan untuk menyerbu ‘suguhan’ yaitu: teh kotak, combro, misrok atawa cemplon [bahasa Jawa] dan pisgor. Semua enak, tapi paling enak combronya. Bu Wisda, saya makan combro 2 lho!
Biar ‘tamasya’-nya lengkap, harus masuk rumah Pitung. Sebetulnya males, karena musti buka sepatu, tapi ya dilakoni aja. Naik tangga ke beranda depan, kemudian ada pintu, masuk ke ‘ruang keluarga’. Dibelakang ruang keluarga ada kamarnya Pitung. Kemudian ruangan lagi, mungkin ruang makan, terus paling belakang ruang untuk duduk-duduk santai sambil melihat laut. Lho, kok gak ada dapurnya? Rumah panggung ini berlangit-langit pendek, jadi harus hati-hati, musti agak merunduk. Kalau tidak bisa kejedhut dan benjut.
Jam
MARUNDA – KAMPUNG/GEREJA TUGU
Kelihatannya jarak Marunda dan Kampung Tugu tidak terlalu jauh, kira-kira 10 menit pejalanan. Sampai di gereja Tugu, disambut musik keroncong. Rasanya ‘nyes’ hati ini mendengar musiknya yang mendayu-dayu. Setelah sambutan di halaman gereja, rombongan dibawa masuk ke dalam gereja, untuk mendengarkan cerita tentang sejarah gereja Tugu. Saya membayangkan saat itu, ketika ada kali di depan gereja dan orang-orang pergi kebaktian naik perahu. Pasti saat itu airnya masih bening, tidak hitam dan bau seperti sekarang ini.
Acara ‘resmi’ selesai, disambung makan siang. Sebelum makan, saya ke belakang mimbar dan naik ke mimbar untuk mencoba ‘acoustic’-nya. Ternyata, menurut beberapa Batmus yang masih di dalam gereja, suaranya dari bawah terdengar jelas.
Makan siang, nasi bogana, dibungkus daun. Makannya dibawah pohon besar, sambil mendengarkan musik kroncong. Wah, nikmat sekali. Terus ada Ibu Alit [yang memang berbadan kecil] nyanyi. Suaranya bagus lho. Ech, baru saja selesai makan, saya dipanggil disuruh ‘menyumbangkan’ suara. Gimana ini, suaranya disuruh sumbang.
Makan sudah, nyanyi sudah, terus apa lagi. Oh ya … ikut photo-photo ‘keluarga’ tanpa spanduk. Yang motret banyak amat. Ya udah, duduk terus ditangga, sampai tak ada lagi tustel yang mengarah ke kami-kami yang berphoto.
Tepat jam
TUGU – BEOS
Balik ke BEOS lewat tol Ancol lagi. Sampai di BEOS, berakhir sudah ‘tamasaya’ hari ini. Para BatMus saling bersalaman berpamit-pamitan. Terus jalan berbondong-bondong ke halte Trans Jakarta. Halte ‘diserbu’ para BatMus.
BEOS –
BatMus yang se-bis dengan kami adalah bapak dengan putrinya yang cantik, turun di Gajah Mada, kemudian sepasang suami-isteri dengan putrinya yang juga cantik, turun di halte Hilton Hotel. Sorry, lupa namanya, padahal satu bis no. 3 lho. Mas Agni & saya turun di
Sampai di halte
RUMAH
Sampai di rumah kira-kira jam
[diselesaikan 6 Feb 06 – jam 18:45 waktu Taman Asri]
whahahwhhahahah tenik ngawur! iki mesti ketularan mas-e: pak car-tea! hahahahahah
ReplyDeleteapik ten ceritane, gampang diwoco (ora suk-sukan tulisane)
ReplyDeleteyen arep maca critamu-pun, tulisane selalu tak gedein dulu, ben gampang membacanya .... maklum mata tua. kan udah eyang ... cucunya sudah 11!!!!
ReplyDeletehehehe... kan sedarah ......
ReplyDeleteHik..hik...hik..gag iso melu... (lhoo hari itu aku ngapain ya ??)
ReplyDeletelha ngapain?
ReplyDeletedia tanggal tersebut tidur Mama Oen (hehehe lapor gitu )
ReplyDeleteHabis kamunya juga gak ada sih ... jadi Rachmat mendingan tidur .... ya Mat ya....
ReplyDeleteHe he he iya ya......penyakit hari minggu......jadi bangsawan alias bangsane tangi awan.
ReplyDelete