Monday, March 13, 2006

Traditional Dance


“Kaki ‘mendhak’ ya.  Terus mendhak, jalan pun harus mendhak.  Posisi badan kalau dari samping jadi seperti ‘letter S’.  Pinggul jangan digoyang, karena, kalau kita jalan otomatis akan goyang sendiri.  Lutut rapat.  Liat saya dulu ya.  Ini gerakan pelan.  Satu-dua-tiga-empat-lima-enam-tujuh-delapan.”…..


 


Itu suara Ibu Iin, teman suamiku menari 30 tahun lalu, yang sedang melatih teman-temannya, yang sudah ‘overseks’ [over seked = lebih dari 50 tahun].  Tariannya kalau gak salah namanya ‘Jejer Banyuwangi’.  Dia satu-satunya yang masih aktif menari, karena masih menjadi guru tari di sanggar tari, dirumahnya.


 


Hari Sabtu itu, maksud hati hanya mengantar suami ber-reuni dan ber-nostalgia dengan teman-teman menarinya saat di UI 30 tahun lalu.  Ternyata saya dipaksa untuk ikut menari.  “Mbak, kita semua mulai lagi dari nol”, begitu kata bu Iin.  Ya wis lah, itung-itung olah raga.   Adhuh, rasanya kaku semua.  Maklum, sudah sejak 1968, sejak kelas 3-SMP gak pernah nari lagi, ditambah ‘dengkul’ sudah mulai pengapuran.  Tapi gerakanku gak jelek-jelek amat kok, hanya merasa lucu aja….. J


 


 

Wednesday, March 1, 2006

Semakin Tua

Kemarin mbakyu iparku sms, hari ini dia kirim email.  Intinya mengundang sodara-sodaranya untuk makan nasi kuning bersama, dalam rangka ultah mas-ku yang paling tua, yang tanggal 3 Maret besok berulang tahun ke 68!  68 lho!  Tak terasa, dunia [ku] sudah semakin tua.  Lha wong aku sendiri ternyata juga sudah tua lho! :)


Ketika aku lahir dan setahun kemudian pindah dari Purworedjo ke Wonosobo, mas-ku sudah harus masuk SMA dan dimasukkan Bapak-ku ke SMA Bopkri di Jogya.  Memang dia sering ke Wonosobo, tapi karena aku masih kecil, jadi tidak terlalu ingat.  4 tahun kemudian kami sekeluarga pindah ke Salatiga, dan mas-ku sudah mahasiswa di ITB.  Jadi praktis aku tidak pernah serumah dengannya.  Tapi kenangan indah bersama mas-ku selalu ada.


(Mas-ku ini paling sabar dari dua orang mas-ku yang lain.  Gak cepat marah dan bisanya tertawa atau diam.  Sampai beranak-pinak dan cucu, dia masih seorang penyabar.... juarang sekali marah ..... betul begitukah mbakyu ipar dan anak-anak?)


Beberapa bulan sekali, mas-ku pulang ke Salatiga.  Dia sangat 'ngemong' dan sayang sama aku [mungkin karena aku paling kecil].  Setiap kali, aku selalu di-'oleh-olehi' buku bacaan untuk anak-anak.  Sueneng sekaleeee.... Atau kalau sore, mas-ku mengajak jalan-jalan ke toko buku dan membelikan aku buku-buku bacaan.


Saat aku kecil, Salatiga adalah kota yang menyenangkan.  Kota dingin di kaki Gunung Merbabu, dengan jajaran pohon kenari di kiri dan kanan jalan.  Betul-betul sebuah kota peristirahatan dan kota pensiunan yang sangat tenang.


Kala itu, beberapa kali ketika mas-ku liburan, dia mengajak aku dan mbakyu-ku yang nomor 5 bersepeda keluar kota.  Tentu saja aku dibonceng, karena belum bisa naik sepeda sendiri.  Kami bertiga bersepeda ke jalan luar kota arah Solo, kira-kira 5 km dari arah batas kota, sampai di daerah Karang Duren.  Jalanan menanjak, tapi tidak masalah karena hawa yang dingin.  Ketika capek, kami menepi dipinggir jalan, dipinggir sebuah perkebunan [kalau gak salah kebon jeruk], duduk dipinggir sebuah kali/selokan kecil yang airnya mengalir dan bening.  Kami membuka 'sangu' kami yang adalah teh panas dan roti tawar isi muisjes.  Pokoke, waktu itu rasanya bahagia bangetttttt....  Saat itu jalanan Semarang-Solo via Salatiga belum seramai sekarang ... wuih .... sekarang .... wuih ..... kendaraan padet-det.


(Kini daerah Karang Duren ini gersang, kali/selokan kecil yang dulu bening sudah hilang tertimbun sampah .... huh sedihnya.)


Kalau mengenang saat itu, kepenginnya balik ke masa itu lagi.  Ketika hal biasa menjadi istimewa.  Ketika kota Salatiga masih bersih, masih tenang, masih dingin, masih rindang.  Sayang.... semuanya itu hanya bertahan sampai kira-kira akhir tahun 1970an.


Yah tak terasa, waktu berjalan dan berjalan dan tiba-tiba, dunia [ku] sudah bertambah tua.  Mas-masku dan mbakyu-mbakyuku sudah bercucu.  Keluarga besar ku sudah bercucu  11 orang.  Sementara ponakan-ponakan sudah bukan anak-anak lagi, sudah menjadi teman yang 'sama-sama tua', yang tidak bisa lagi 'digurui' tapi 'menggurui', tidak perlu lagi ditolong tapi yang sudah harus menolong kami-kami generasi diatasnya ... :)


Yah, dunia[ku], ternyata sudah semakin tua.  Tentu saja, aku pun semakin tua ..... :) .... sadar-sadar ....