Sunday, October 30, 2005

Selamat Jalan Bung!

Selamat jalan Bung!


 


Bung Willem atau Butita atau Bu saja, itulah panggilannya.


 


Dia saya kenal 14 tahun lalu


ketika dia adalah anggota baru di PS Galilea


nyong Ambon, yang bersuara bagus, yang anggota bass


yang adalah ternyata seorang STh dari Ujung Pandang


yang adalah juga anggota Sion Singer


 


Bung Willem adalah sosok sederhana, sosok yang ramah


yang wajahnya selalu dihiasi senyum, selalu menyapa siapapun


dia orang yang baik hati


 


Butita adalah pendamai dan ‘pendingin’ suasana panas


dia seorang penyabar, sabar dalam menghadapi segala situasi


serta sabar menghadapi orang siapa saja


dan tentu saja, sabar dalam ‘perjuangannya’ selama 4 tahun


sampai akhirnya, pada tangal 1 September 1999


ditahbiskan menjadi pendeta jemaat


 


Ketika panggilan pelayanan merubahnya


merubahnya untuk dipanggil ‘Pak Pendeta’


Butita tidak berubah


tetap seorang Bung Willem yang saya kenal tahun 1991


tetap sederhana, baik hati, ramah dan murah senyum


 


Hanya 3 hari Butita sakit


hanya 6 tahun dia melayani sebagai pendeta jemaat


TUHAN ternyata lebih menyayanginya


TUHAN memanggilnya pulang, TUHAN menjemputnya


hari Senin, 24 October 2005, jam 7:45


 


Berita kepergiannya mengejutkan semua orang


semua orang tidak percaya dan berusaha menyangkal


tapi itu sebuah kenyataan bahwa, Bung Willem sudah pergi


sudah bersamaNYA


jasadmu disemayamkan di gereja selama 3 hari


 


Bu, andai saja kamu bisa menyaksikan


begitu banyak orang datang


untuk mengucapkan ‘selamat jalan’ padamu


itulah buah pelayananmu


begitu banyak jemaat yang menyayangimu


semua mempunyai kenangan indah tentangmu


semua membicarakan kebaikkanmu


 


Kami semua sedih


sedih, karena kehilangan Pendeta


yang sangat memperhatikan jemaatnya,


yang selalu bersedia mendengarkan keluhan,


yang wajahnya selalu tersenyum,


yang tidak pernah membeda-bedakan,


dan masih banyak kebaikan lain, yang patut diteladani oleh para jemaat.


 


Kami sedih, karena kehilangan seorang teman,


yang rendah hati, yang bersuara bagus,


yang bisa diajak bercanda maupun serius,


dan masih banyak lagi kebaikan-kebaikannya,


yang patut diteladani oleh teman-temannya


 


Tapi kami harus bersuka-cita,


karena Bu sekarang sudah bersama TUHAN,


tidak lagi ada sakit, sedih, capek.


Bu sekarang sedang bernyanyi bersama malaikat.


 


Selamat jalan Pendeta Willem, Bung  Willem, Butita,


kenangan tentang Anda, akan ada terus dalam hati kami.


 


Jakarta, October 2005

Monday, October 10, 2005

TULISAN

Tulisan


 


Asyik lho, punya hobby membaca.  Bukan hanya baca buku asyik, tapi baca tulisan-tulisan di pinggir jalan.  Hobby ini bisa menghilangkan stress ketika jalanan lagi macet.  Iklan-iklan kecil disepanjang jalan itu banyak lucunya.  Sok-sokan pakai bahasa Inggris, padahal pakai bahasa Indonesia pun kadang-kadang gak bener.  Contohnya:


 


Tenda bakso di daerah Pondok Cabe tertulis besar-besar: SEDIA BAKSO KUWAH!!!  Pasti yang nulis ‘ngeyel’.  Dia menulis sesuai dengan pendengarannya.  Coba ucapkan ‘kuah’.  Kelihatannya pakai ‘w’ kan?  Nah, dia suruh nulisnya juga pakai ‘w’.


 


Di jalan Joglo Raya ada tukang kunci, didepannya ada tulisan: POWWER WINDOW, SENTRALOCK ….   Mbok ya tanya sama orang sekolahan, tulisan yang bener yang bagaimana.  Atau mereka sudah merasa bener yak …..


 


Sekarang ini banyak sekali orang jualan ayam goreng tepung, seperti KFC, pakai gerobak-gerobak di pinggir-pinggir jalan.  Di Kompleks Larangan Indah ada yang gerobaknya bertulisanan FRIED CHIFKEN, sedangkan di Taman Asri FRIED CHIKKEN.  Itupun tulisannya dipisah, karena tidak muat, jadi FRIED CHIK, terus dibawahnya KEN.  Hahahaha….   Lha mbok khusus datang ke KFC dan contoh tulisannya.


 


Dulu ada penjahit di Taman Asri yang bikin tulisan-nya sok Inggris.  Saya lupa nama penjahitnya, tapi tulisannya adalah: X Tailor – Ledies and Geant …… padahal dibikin dengan tulisan bagus dan pakai neon segala … tapi ejaannya salah ….. kasihan deh ….


 


Ada lagi … kira-kira tahun 1993-94, kami berwisata di Gedong Songo, Ungaran.  Ada sebuah warung lesehan, persis dipinggir kanan setelah masuk pintu gerbang.  Menunya tertulis dalam 2 bahasa, Inggris dan Indonesia, dalam 2 lembar kertas berbeda.  Yang berbahasa ‘Inggris’ bunyinya begini:  SEDIA: Rabit sate, Ricefak, Suweet tee, Ndet is mai mat.  Lha kalau orang asing berkunjung ke situ, apa mereka tidak bingung, lha wong kita saja bingung?  Untung ada terjemahan bahasa Indonesia dikertas sampingnya: SEDIA: sate kelinci, lontong, teh manis, tikar tidak sewa …… hahaha…. terbtata ‘ndet is mai mat’ itu artinya – ini tikar saya, tidak perlu sewa ….. J


 


Tulisan-tulisan yang banyak ditemukan di jalan-jalan tersebut menyadarkan kita, betapa tingkat pendidikan di negara kita tercinta ini masih rendah dan tidak merata.  Kasihan deh …. dan memprihatinkan.

Tuesday, October 4, 2005

MANADO

Ta.... biar ada isi, ini tak critain waktu Tenik lan-jalan ke Manado ya.  Panjang tapi, jangan bosen....  Jane ana photo-photone, tapi waktu tak paste kok gak metu ya?  Wah gak ngerti carane aku ... hehehe.....


----------


JALAN-JALAN KE MANADO


 


Tanggal 9 s/d 12 September 2005 lalu, Antique dan Tenik pergi ke Manado bersama Agape Choir.  Ini adalah perjalanan ‘kombinasi’, antara bersenang-senang dan pelayanan.  Bersenang-senang menikmati alam dan makanan Manado, serta pelayanan paduan suara di Gereja Masehi Injili Manado [GMIM] Sion di Winangun, Manado.  Selain itu, Antique & Tenik diminta untuk menjadi Ibu-Bapak Baptis [Mama & Papa Serani] bagi Jemima Jaffa Sahuleka [Jemma], putri pertama pasangan Michael-Immanueli.


 


 


Jumat, 9 September 2005


 


Lion Air first flight ke Manado berangkat jam 06:00.  Aryani, kepala rombongan, sudah dengan baik hati mengurus ‘boarding pass’ beberapa hari sebelum hari keberangkatan, jadi kami tinggal ‘check-in’ bagasi saja.  Jadi kami diminta untuk sudah berada di Bandara jam 5:00 dan tinggal check-in bagasi saja.


 


Pesawat berangkat tepat jam 6; dan ini adalah penerbangan langsung tanpa transit, dengan lama terbang kurang lebih 3 jam.  Setelah melintasi Laut Jawa dan sebagian Kalimanta, Lion Air mendarat dengan mulus di Bandara Sam Ratulangi Manado tepat jam 10.


 


Di bandara kami sudah dijemput Michael yang punya gawe, lengkap dengan ‘anak buah’ Garuda yang akan membantu kami mengurus bagasi.  Dengan demikian kami bisa langsung keluar.  Bis pariwisata yang akan membawa kami ke pulau Lembeh [tujuan hari pertama] sudah stand-by.  Nah, sambil nunggu barang-barang keluar, rombongan berphoto ria.  Tak peduli matahari yang terik, yang penting … photo!!!!  Ceprat-cepret dibawah sign ‘selamat datang di kota Manado’, sebagai bukti bahwa, betul kami mengunjungi Manado.




Tujuan pertama kami adalah pulau Lembeh, yang terletak di seberang pelabuhan Bitung, atau di bagian selatan ‘kepala’ Sulawesi Utara.  Di pulau ini, anak-anak akan belajar diving dan mereka adalah betul-betul para pemula.  Perjalanan Bandara-Bitung ditempuh kurang lebih 45 menit.  Selama perjalanan, kami dipandu oleh Martin, pengelola Sulawesi Dive Quest [SDQ] pulau Lembeh, yang ikut menjemput kami di Bandara.  Sampailah kami di pelabuhan Bitung.  Kapal kayu motor yang bertuliskan Sulawesi Dive Quest sudah menunggu.  Kapalnya cukup besar.  Katanya sih, bisa muat 40 orang.  Barang-barang masuk kapal, orang-orang masuk kapal dan … kapal lapas tali … lapas landas menuju pulau Lembeh.


 


15 menit kemudian, kapal mendarat di pulau Lembeh.  Tempat kapal berlabuh kira-kira 200 meter dari tempat penginapan SDQ.  Karena saat itu air sedang surut, kapal tidak dapat merapat di depan penginapan.  Untung sekali, para crew penginapan membantu  membawakan barang-barang kami.  Kalau tidak … berat kan.  Apalagi harus berjalan di atas pasir.


  


SDQ bukanlah sebuah tempat penginapan mewah.  Sangat sederhana, tapi bersih dan pelayanannya bagus.  Tidak ada AC, hanya ada fan.  Kamar mandinya cukup bersih dan terang.  Ada shower dan tempayan air besar untuk mandi ‘jebar-jebur’.  Di penginapan ini ada 5 ‘bungalow’ kayu, yang terdiri dari teras, kamar tidur dan kamar mandi; dan satu buah rumah panggung yang terdiri dari 4 kamar @ 2 tempat tidur.  Rumah panggung ini dilengkapi dengan 2 kamar mandi.  Yang unik adalah, semua tempat tidur di penginapan ini dipasang kelambu.  Walaupun sederhana, tapi ternyata tempatnya nyaman, tenang dan aman.  Yang ada di tempat itu hanya tamu dan crew hotel saja.


 




Saat itu 2 bungalow sudah terisi oleh 2 pasang tamu asing yang belajar diving, dari Jerman dan Perancis.  Jadi, rombongan kami yang terdiri dari 20 orang mendapat 3 bungalows dan rumah panggung.  Para perempuan tidak ada masalah.  Mereka mendapatkan ‘tempat yang layak’.  Yang kasihan adalah para lelaki.  Mereka terpaksa harus share 1 bungalow untuk ber 5!!!


 


Setelah semua barang masuk kamar masing-masing, kami siap untuk menyantap makan siang.  Sudah lapar sekali, karena sudah sedikit lewat waktu makan siang.  Menu makan siangnya adalah: ikan bakar, ikan masak belanga [bumbu kuning], ayam rica, sayur … apa ya … dan sambal.  Pencuci mulutnya semangka dan kelapa muda.


 


Ketika kami sedang makan Martin, pengelola merangkap guru diving, mengumumkan bahwa, kelas diving akan berangkat dari pulau Lembeh jam 15:00.  Para murid diminta berkumpul di ruang makan 30 menit sebelum berangkat untuk pengarahan.  Kami selesai makan siang jam 13:00, jadi para murid diving masih punya waktu sekitar 1½ jam untuk menurunkan nasi yang ada diperut, beres-beres barang bawaan, serta berganti baju untuk diving.


 


Jam 14:30 ‘para murid’ sudah berkumpul di ruang makan.  Martin cs segera membawa peralatan diving.  Mereka menerangkan kegunaan alat-alat tersebut, memperagakan cara memakainya, memberikan teori bagaimana cara bernafas dengan ‘regulator, memberitahu beban yang akan ‘digendong’ oleh para diver.  Suasana ‘kelas pemula’ ini cukup ramai.  Dari mulai pemilihan size baju, sepatu katak, mencoba cara bernafas dengan ‘regulator’ etc. etc. etc…



Para murid siap berangkat.  Kembali kami berjalan kaki menuju tempat kapal ‘diparkir’.  Kapal lapas landas dan meninggalkan pulau Lembeh.  Lokasi belajar diving tidak terlalu jauh dari pulau Lembeh, kelihatannya hanya diseberangnya saja dan ditempuh dalam waktu kira-kira 15 menit dari penginapan.  Tempatnya merupakan sebuah teluk yang tenang tanpa ombak, teduh dan tidak terlalu dalam, sekitar 3 meter-an dan airnya bening, sehingga ikan-ikan yang berenang terlihat dari atas kapal.  Kapal kami tidak merapat ke pantai, tapi ‘kampul-kampul’ pasang jangkar kira-kira 10 meter dari pantai.  Martin kembali memberikan teori serta ‘body language’ bagi para divers, bagaimana memberi tanda ‘OK’, ‘mau naik ke atas etc etc.  Teori selesai, kini para murid mulai siap-siap praktek ‘nyemplung’.  Sekali diving 4 murid dengan 2 guru Martin dan Nan.  Heboh … ada yang takut, ada yang berani, ada yang berani sekaleee dan ada yang ketagihan …



Para murid diving adalah: Cici, Anut, Rama, Elly, Rani, Ari, Shinta, Santi, Jelita, Esther, Fretty, Dino, Michael dan Charlie.  Sedangkan Antique dan Tenik tidak ikut jadi murid diving, tapi menjadi penggembira dan pemotret.  Begitu juga dengan Darmawan dan Abe.  Sedangkan Murni dan Lola tinggal di penginapan karena tak enak badan.



Sayang sekali, waktu belajar diving sore itu tidak terlalu banyak.  Jelita dan Elly belum mendapat kesempatan terjun keair, tahu-tahu sudah mulai gelap dan sudah saatnya untuk kembali ke penginapan.  Ya sudah.  Masih ada hari esok dan masih ada pelajaran lagi.  Kali ini kapal kami bisa mendarat tepat didepan penginapan, karena air sedang pasang.  Tapi tetap saja, kami harus ‘ngrubyuk’ untuk sampai ditempat kering.



Sampailah di penginapan.  Mandi ach.   Ech, tengah-tengah mandi, showernya mati, alias air tandonnya habis…  Terpaksa tunggu sampai air penuh kembali.  Selesai mandi, tentu saja makan malam.  Menu malam itu, seingat Tenik ada ikan dan ayam rica.  Selain itu, crew penginapan menyiapkan pemanggangan.  Ternyata yang dipanggang adalah ikan barakuda dan babi!!!  Barakuda dimakan dengan sambal kecap dan dabu-dabu.  Dagingnya lembut dan manis gurih.  Mungkin karena ikannya masih benar-benar ‘fresh from the sea’.  Sedangkan babinya adalah se-ekor, segelundung babi muda yang dibumbui bumbu khas Manado yang pedas.  Nantinya babi panggang ini dimakan dengan pisang rebus.  Kami para wanita tidak ada satupun yang mencicipi babi panggang tersebut, karena lebih memilih tidur.  Kabarnya, babi panggang baru masak betul sekitar jam 11-an, dan kabarnya lagi, yang makan paling banyak adalah Dino.


 


Ternyata udara pantai pulau Lembeh pada malam hari tidak panas, tapi sejuk, sehingga kipas angin dalam kamar, Tenik matikan.  Angin semilir membuat mata bertambah ngantuk.  Jendela Tenik tutup, pasang kelambu  … dan tidur …  Nyenyak sekaleee, sampai waktu Antique masuk kamar, Tenik tak terbangun sedikitpun.  Tapi Tenik sempat terbangun menjelang pagi dan merasa kedinginan, sehingga terpaksa menarik sarung pantai sebagai selimut.  Rasanya aneh, kedinginan di tepi pantai!!!


 


Sabtu, 10 September 2005


 


Jam 5:30 WITA [4:30 WIB], Tenik sudah bangun.  Gordijn tak buka, wauw … pemandangan pantai indah lho, sayang sekali kalau gak dilewatkan.  Air masih pasang, tapi ombak tidak besar.  Tenik keluar dan jalan-jalan dipantai.  Enak, airnya dingin dan bersih dan matahari belum keluar, atau karena agak mendung?  Setelah matahari muncul, Tenik membangunkan Antique untuk berphoto-photo, karena kelihatannya sinar matahari sudah cukup bagus untuk berphoto-photo di pantai.


 




Sarapan pagi siap jam 7:30, yang terdiri dari nasi goreng, bakmi goreng dan kerupuk.  Selesai sarapan, para murid diving siap-siap untuk berangkat.  Tepat jam 9:00 mereka lapas tali …  Yang tidak ikut ‘berlayar’ adalah: Rama [yang lagi agak ‘mriang’ karena kulitnya terbakar matahari] Anut, Murni, Lola, Tenik, Dino [yang kena ‘stomach disorder’, karena kebanyakan makan babi panggang hehehe…] dan Darmawan.


 


Setelah para divers berangkat, Anut segera bertindak sebagai ‘dukun kerok’.  Rama dikerok, digosok, disuruh makan, minum obat dan disuruh tidur.  Selesai menemani Rama sebentar, Tenik kembali ke kamar untuk packing, karena setelah makan siang akan check-out dari Lembeh.  Setelah selesai packing, mandi.  Habis mandi duduk-duduk di teras sambil baca buku.  Angin semilir, cuaca agak mendung, kok lama-lama ngantuk juga ya.  Jam 11:00 – tidur ach.  Udaranya juga mendukung untuk tidur.  Gerimis mulai turun, jadi … sebaiknya tidur saja ach.  Tenik terbangun ketika Ari memanggil-manggil dan memberitahu agar ketika makan siang kopor-kopor dibawa sekalian, karena akan langsung check-out.


 


Makan siang selesai.  Ari dan Michael mengurus pembayaran.  Kami berpamitan ke semua crew penginapan dan kemudian berphoto bersama.  Siap menyeberang ke Bitung.  Kembali kami harus berjalan kaki menuju kapal, karena air surut.  Sekali lagi untung, semua barang-barang kami dibawakan oleh crew penginapan.


 


Naik, naik kapal …  ech … turun lagi … kami naik kapal yang salah … heheheh… lapas tali … berlayar menuju pelabuhan Bitung.  Sampai di pelabuhan, bis pariwisata yang akan membawa kami ‘berwisata Minahasa’ sudah stand-by.  Kami berangkat kira-kira jam 1:30pm.  Hujan mulai turun ketika bis mulai berjalan, lama-lama tambah deras.  Sekali lagi kami mendaulat Martin untuk menjadi ‘guide’ perjalanan Minahasa ini.  Kira-kira route yang kami lalui adalah sebagai berikut: Bitung, Airmadidi, keliling danau Tondano, Bukit Kasih, Kawangkoan, Tomohon dan berakhir di Tinoor, dimana kami mau menginap.


 


Stop Press – di Airmadidi kami berhenti sebentar di pinggir, untuk mengambil ‘stock’ makanan dari temannya Anut, yang adalah dodol yang banyak kenarinya, kue-ku yang merah menyala, dan nasi jaha.  Nasi jaha adalah kue yang dibuat dari ketan seperti lemper, tapi tidak ada isinya, dibungkus dengan daun semacam daun pisang, rasanya gurih.  Wadhuh, lumayan buat sangu perjalanan Minahasa.


 


Perjalanan keliling Minahasa ini melelahkan.  Kami berangkat dari Bitung sudah terlalu siang dan sempat berhenti sebentar setelah kira-kira hampir 3 jam perjalanan, sebelum sampai di danau Tondano.  Kesempatan ini digunakan oleh teman-teman yang sudah ‘ngebet’ ke ‘rest-room’.  Perjalanan diteruskan keliling danau Tondano.  Bis sama sekali tidak berhenti di pinggir danau.  Terus dan terus berjalan mengejar waktu, agar tidak terlalu malam sampai di Tinoor.


 


Meninggalkan daerah Danau Tondano, bis terus berjalan ke Bukit Kasih.  Sampai di Bukit Kasih menjelang magrib, sudah mulai gelap.  Bukit Kasih adalah suatu perbukitan, yang diresmikan pada tahun 2004, dicanangkan sebagai lambang kerukunan beragama.  Di sini ada sebuah tugu bersisi 5.  Masing-masing sisi ada lambang 5 agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.  Diatas bukit terlihat 2 buah salib.  Yang dibawah agak lebih kecil daripada yang diatas.  Untuk menuju ke salib tersebut, sudah ada tangga berpagar.  Beberapa teman tetap nekat naik walaupun sudah remang-remang.  Selain itu, tempat ini memunyai sumber air panas/belerang dan bau belerangnya cukup tercium.  Tepat di depan tugu, ada tangga yang menuju ‘plaza’.  Just ordinary tangga dari batu.  Cobalah duduk atau berdiri disitu, pantat dan/atau telapak kaki kita akan terasa hangat.  Kalau tidak salah, tangga ini didirikan di atas ‘panas bumi’.


 




Ketika tiba di Bukit Kasih tadi, bis kami langsung ‘diserbu’ para pedangang souvenir.  Sebetulnya para pedagang itu sudah mau pulang.  Ketika mereka melihat bis rombongan kami, mereka kembali dan menawarkan dagangan mereka kepada kami.  Ada topi, gantungan kunci, kaos.  Beberapa teman membelinya sebagai kenang-kenangan, disamping kasihan sama penjualnya.  Dikawsan Bukit Kasih suasana sudah betul-betul gelap.  Sama sekali tidak ada sinar.  Sebetulnya ada lampu, tapi tidak dinyalakan.  Mungkin karena penghematan energi.


 


Setelah kira-kira setengah jam di Bukit Kasih, kami siap meneruskan perjalanan.  Tapi, kemana Martin dan Pak Is ya?  Yah, terpaksalah 3 perempuan [termasuk Tenik] berinisiatif ‘koor’ untuk memanggil Martin…  Ada juga hasilnya.  Martin muncul dengan membawa … pisang goreng dan jagung rebus!  Katanya, jagungnya direbus di sumber air panas…  Wah … ada makanan jadi rame deh.  Bis jalan kembali sambil para penumpangnya menikmati pisang goreng panas dan jagung rebus yang masih mengepul.


 


Perjalanan menuju Tinoor jadi kurang menyenangkan, karena sudah gelap, sehingga pemandangan sepanjang perjalanan tidak bisa terlihat.  Sayang sekali, ketika lewat kota Kawangkoan, kami tidak bisa singgah di warung kopi terkenal, yang menjual bakpao babi.  Bis jalan terus, agar tidak terlalu malam sampai di Tinoor.


 


Akhirnya sampai juga di Tinoor, tepatnya di hotel MAKATEMBO, tepat jam 7:30pm.  Setelah pembagian kamar, kami langsung menuju restaurant GLORIA, yang letaknya 100 meter di sebelah kanan hotel.  Jadi kami rame-rame jalan kaki.  Gloria adalah rumah makan ‘all you can eat’ – Rp10,000/orang.  Menunya khas Manado.  Walaupun makanannya enak-enak, tapi karena waktu makan sudah lewat, nafsu makanpun tidak terlalu besar.


 


Selesai makan, kembali ke hotel.  Semua segera mandi dan cepat-cepat tidur, karena hari minggu besok harus bangun pagi-pagi dan harus sampai di gereja jam 7 pagi.  Tapi, ketika semuanya sudah siap-siap tidur, tiba-tiba lampu mati …  Wadhuh, siapa itu yang teriak-teriak?  Paling keras sepertinya suara Cici deh.  Untung lampu mati hanya sebentar.  Ketika semua tidur, Tenik ‘klisikan’ gak bisa tidur sampai menjelang pagi …… gak tau kenapa.


 


Minggu, 11 September 2005


 


Jam 6:30 Antique & Tenik sudah rapi dandan, siap ke gereja.  Konon kami, Abe, Ari, Antique & Tenik akan dijemput jam 7:00 tepat, untuk persiapan dengan pendeta dan majelis GMIM Sion Winangun.  Sambil menunggu jemputan, kami sarapan pagi, yang adalah bubur ‘Tinotuan’.  Wadhuh bubur.  Tenik gak doyan lah, kayak orang sakit.  Tapi karena itu menu sarapan satu-satunya, terpaksa Tenik mencoba.  Ternyata doyan, karena bukan bubur seperti yang Tenik bayangkan.  Nasi buburnya hanya sebagai taburan.  Lebih banyak sayurnya [daun ubi].  Tinotuan ini terasa lebih enak jika dimakan dengan ikan nike dan cakalang.


 


Jam 7:00 kami berangkat ke gereja bersama Morris [keponakan Michael].  Ternyata gerejanya tidak terlalu jauh dari penginapan, kira-kira 15 menit perjalanan.  Teman-teman lain akan dijemput dengan bis, sedangkan kopor-kopor kami diangkut dengan kendaraan open pick-up.  Sampai di gereja GMIM Sion Winangun, kebaktian pertama baru saja selesai.  Gereja sedang dibersihkan.  Untuk masuk ke dalam gedung gereja, para jemaat harus melewati tangga yang cukup tinggi.  Kasihan untuk orang-orang tua yang dengkulnya sudah sakit.  Kami bertemu ibu Sahuleka dan ngobrol-ngobrol sambil menunggu Bapak-Ibu Baptis lain untuk persiapan.  Ternyata ada 4 pasang Mama-Papa Serani dan ada 3 atau 4 Mama Serani.  Menurut Michael, begitulah tata-cara GMIM.  Lebih banyak Mama-Papa Serani lebih baik!


 




Kebaktian mulai tepat jam 9:00.  Selain baptisan Jemma, ada upacara pelepasan pendeta yang akan pindah tugas.  Kebaktiannya rasanya lamaaaa sekali, hampir 2 jam!  Dikebaktian ini ada 3 paduan suara.  Agape menyanyi 2 lagu, koor Komisi Wanita 2 lagu, dan 2 lagu dari koor pemuda yang akan ikut dalam suatu pesta paduan suara gerjawi.  Wadhuh, sampai ngantuk dan lapar.  Antique dan Lola mengangguk-angguk tertidur.  Untung kedua ‘makhluk’ tersebut duduk dibelakang, jadi tidak mempermalukan rombongan.


 


Akhirnya kebaktian selesai juga.  Setelah bersalam-salaman, kami berphoto ria di seputaran gereja.  Setelah ini kami akan ke Meras, untuk makan siang bersama kel. Sahuleka.  Jadi, kami harus berganti baju resmi menjadi baju casual.  Caranya… ganti dalam bis.  Gordijn bis ditutup … voila … jadilah kamar ganti.  Di tempat ini kami berpisah dengan Lola, yang akan pulang ke Jakarta dengan pesawat jam 2pm.  Selamat jalan Lola, sampai bertemu di Jakarta ya.


 




Udara siang itu panas sekali dan kami akan melakukan perjalanan ke Meras, yang menurut pak sopir, akan ditempuh kira-kira 1 jam.  Wah, kami semua sudah lapar.  Ketika melintas di Manado Boulevard, ada beberapa teman yang memerlukan ATM, jadi kami berhenti di pertokoan di pinggir Boulevard.


 


Tiba-tiba, lho, apa yang terjadi dengan Ari?  Ternyata Ari, yang sudah dari tadi merasa pusing, merasa bertambah pusing dan mual.  Jadi, pada kesempatan turun ke ATM ini, Ari ‘menyempatkan diri mengeluarkan isi perutnya.  Masuk angin ya Ri?  Telat makan, kurang tidur, capek dan tegang mengurus rombongan ya?  Kasihan Ari.  Ayo Ri, tahan, sebentar lagi sampai Meras kok …  Ayo Anut, kerok Ari, biar agak lega-an.


 


Perjalanan dilanjutkan.  Perut sudah semakin lapar.  Sudah hampir 1 jam kok gak sampai-sampai sich?  Ech, ternyata pak sopir salah jalan.  Dia pikir rombongan ini mau ke Hotel Santika dulu baru ke Meras.  Sudah separo jalan lebih, pak sopirnya baru sadar!  Yah, putar balik lah.  Perjalanan yang harusnya hanya 1 jam, jadi hampir 2 jam!!!!


 


Akhirnya … sampai juga di Mamre Green Hill, Meras.  Pemandangan di sini indah.  Jauh dibawah terhampar teluk Manado.  Orang mengenal tempat ini dengan sebutan ‘Bukit Doa’.  Karena tenang dan sunyi, tempat ini sering dipakai untuk retreat.  Ditempat inilah setahun lalu Michael dan Imma melangsungkan pemberkatan nikah.


 


Saat kami tiba, kebaktian pengucapan syukur sudah hampir selesai, jadi tinggal acara makan siang saja.  Menunya?  Wah, banyak sekaleee dan enak-enak.  Ada babi rica, ada cakalang fufu, ada bruinebonen sup, ada sayur daun pepaya, kapper taart …  Wah pokoknya macam-macam dan perlu dicoba semua.  Akibatnya, kekenyangan.  Selesai makan, Ibu Sahuleka memberi Cici babi rica dan cakalang untuk dimakan rame-rame di hotel.  Gimana caranya ya?  Pasti ada caralah, nanti aja dipikirkan lagi.


 




Kita udah selesai makan Kok Ima sama Jemma belum kelihatan ya?  Ternyata ada berita kalau mobil mereka diserempet motor.  Jadi, dikirim lagi mobil lain.  Syukurlah, tidak ada korban manusia hanya mobilnya saja yang penyok.


 


Kira-kira menjelang jam 4pm kami pamit untuk ke hotel.  Tapi sebelumnya, Cici mendaftar nama-nama orang dengan pesanan oleh-oleh.  Karena kurang waktu untuk belanja oleh-oleh, salah satu saudaranya Michael akan membantu membelikannya.  Rame sekali acara pesan memesan ini. 


 


Akhirnya kami semua berdiri untuk pamit.  Sambil pamitan, sambil photo-photo.  Dasar!!!  Rasanya pengin segera sampai di hotel, pengin mandi, badan rasanya sudah lengket.  Untunglah, Hotel Santika hanya 7 menit bermobil dari Mamre Green Hill.  Sesampai di hotel, pembagian kamar, masuk kamar.  Yang dilakukan Antique sesampai di kamar adalah mandi.



Setelah mandi, Antique & Tenik berjalan-jalan disekitar hotel, melihat-lihat bungalow, kolam renangnya, dan kemudian ke dermaga hotel.  Ternyata sudah ada beberapa teman yang sudah mendahului ke pantai…  tentu saja mereka tak melupakan camera.  Matahari saat itu masih ada dan sinarnya masih bagus untuk ambil-mengambil photo.  So, ceprat-cepret di dermaga dengan segala gaya.  Pakai camera siapa ya?  Oh … camera Elly ya?



Menjelang magrib kami semua balik ke hotel.  Beberapa orang yaitu, Shinta, Santi, Cici, Esther, Anut, Tenik, Fretty, Rani … sapa lagi ya? … langsung berenang.  Airnya anget.  Wadhuh, Tenik sudah 2 tahun gak berenang.  Rasanya kurang ‘pd’.  Mana kolamnya ‘dalem’ lagi, kaki ini tidak bisa menjejak dasar kolam!!!!  Tapi lumayanlah, bisa jarak-jarak pendek.  Ketika sedang berenang, Imma datang dan mendaftar makanan apa yang kami inginkan untuk makan malam.  Yah, kami berenang  sampai kira-kira jam 7pm.


 


Selesai mandi, kami duduk-duduk di lobby, sambil menunggu makan malam siap.  Kegiatan apa saja sich, yang ada di lobby?  Oooo… ada yang main billiard, ada yang main ‘sepakbola’, ada yang liat F-1 di TV, ada yang duduk-duduk saja sambil mendengarkan kolintang… lho … Antique ikut main ya!


 


Jam 8pm makan malam siap terhidang sesuai pesanan masing-masing.  Ada extra makanan lho!  Babi rica dan cakalang dari Meras dihidangkan dengan sukses, tanpa sepengetahuan hotel.  Hebat.  Paling-paling pihak dapur akan bingung … ‘lho, tadi gak ada yang pesen babi rica, kok ini ada sisanya ya?’ …


 


Semua sudah capek.  Jadi setelah makan malam, dengan manisnya semua masuk kamar masing-masing untuk tidur.  Lagi pula, besok jam 7 pagi akan ke Bunaken.


 


Senin, 12 September 2005


 


Rombongan yang akan ke Bunaken sudah berkumpul di lobby jam 6:30.  Tidak ada yang sarapan, kecuali Antique.  Kapal sudah dipesan untuk jam 7 dan sudah stand-by di dermaga.  Jadi, setelah semuanya kumpul, ber-ramai-ramai berjalan ke dermaga Hotel Santika, tanpa melewatkan waktu untuk berphoto.


 




Tidak semua ikut berlayar.  Ada 5 orang yang tinggal yaitu, Ari, Ima, Michael, Dino dan Tenik.  Alasannya, sudah pernah ke Bunaken.  Akan tetapi kami ber-5 ikut ‘melepas’ mereka berlayar dari dermaga hotel.  Karena Michael tidak bisa ikut, maka Morris bersama isteri dan 2 anaknya menemani rombongan ini.  Terima kasih ya Morris, Anda baik sekali mengurus torang selama di Manado.



 


Ketika rombongan sudah berangkat, kami ber-5 balik ke hotel dan sarapan pagi sambil ngobrol kesana-kemari.  Kami baru beranjak balik ke kamar, ketika rombongan sudah kembali dari Bunaken.  Tenik mandi dan siap-siap packing, karena jam 12 harus sudah check-out dari hotel.


 


Jam 12:30 tepat kami semua sudah berada dalam bis dan siap berangkat ke Bandara Sam Ratulangie.  Bis yang disediakan oleh hotel adalah bis yang paling lambat sedunia.  Hanya 20km/jam!  Rasanya bertahun-tahun baru sampai di Bandara.


 


Sampailah di Bandara.  Semua ticket sudah di-check-in-kan, tinggal check-in bagasi.  Kok Leidyan gak dateng-dateng ya?  Sebagai kepala rombongan, Ari sempet panik.  Yah, tunggu aja di ruang tunggu … sekalian cari makan siang.  Makanan di restaurant bandara ini tidak ada yang enak.  Apa boleh buat, dari pada masuk angin, ya dimakan aja.


 


Pesawat yang seharusnya terbang jam 2pm, delay sampai jam 3pm [untung untuk Leidyan], mana masih harus transit di Makassar.  Tapi kami bawa enjoy-enjoy aja.  Dengan segala macam peristiwa dari bau gas perut [siapa ya?], bau keringet penumpang, Jelita yang lupa tempat duduknya … semuanya menciptakan cerita dan kenangan lucu yang tak terlupakan.


 


Akhirnya, perjalanan berakhir di Jakarta.  Terima kasih TUHAN, kami boleh bersama-sama melayani di Manado, dan kami boleh menikmati alam ciptaanmu yang indah.  Kami berpisah, di Bandara Soekarno-Hatta, dan pulang ke rumah masing-masing.


 


Inilah kisah perjalanan Manado, yang tidak akan pernah terlupakan.  Banyak hal-hal yang patut dikenang yaitu: kebersamaan, saling berbagi, saling melayani, bersekutu dan tentu saja saling mengasihi.